Monumen Pancasila Sakti.dok.net |
[misteradli] Sebuah postingan
menarik yang mister lupa di forum mana, entah kaskus atau forum lain,
menjelaskan tentang sedikit versi berbeda dari sejarah revolusi
Indonesia di tahun 1965. Entah fakta entah opini, yang jelas menarik
untuk disimak karna memberi warna berbeda bagi sudut pandang kita
sebagai penerima sejarah yang di sodorkan pemerintah selama ini.
Ketidakpedulian kita atas kebenaran
masa lalu membuat kebanyakan kita menutup mata atas fakta-fakta baru
yang di sodorkan para pelaku ataupun peneliti sejarah. apakah memang
kitasudah terbiasa melupakan sejarah pahit ? walaupun sejarah kelam itu
telah merenggut ribuan nyawa saudara-saudara kita setanah air ? gak
maksa kok gan...hehe..mister cuma ngajak bereksplorasi dalam ber opini.
Hasil akhir perubahan baik mainset ato pemahaman kembali kepada
kedaulatan diri agan-agan semua..yok kita simak ulasannya..
Ini adalah Makalah Prof. Wertheim yang diterbitkan sebagai
suplemen pada majalah ARAH, No. 1 tahun 1990. Makalah Prof. Wertheim ini pernah
disampaikan dalam sebuah ceramah pada tanggal 23September 1990 di Amsterdam.
berikut artikelnya:
Para hadirin yang terhormat!
Saya minta ijin untuk, sebelum mencoba memberi analisa
tentang peristiwa 1965, lebih dahulu menceritakan bagaimana terjadinya bahwa
saya, walaupun mata pelajaran saya sosiologi, lama kelamaan mulai merasa diri
sebagai pembaca suatu detective story yang cari pemecahan suatu teka-teki.
Dalam tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai
guru besar tamu di Bogor. Saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan
beberapa tokoh lain dalam pimpinan partai. Aidit menceritakan tentang
kunjungannya ke RRC, baru itu; dari orang lain saya dengar bahwa Mao Zedong
bertanya pada Aidit: "Kapan kamu akan mundur ke daerah pedesaan?"
Ucapan itu saya masih ingat waktu dalam tahun 1964 saya terima kunjungan di
Amsterdam dari tokoh terkemuka lain dari PKI, Nyoto, yang pada waktu itu ada di
Eropa untuk menghadiri suatu konperensi di Helsinki. Saya engingatkannya bahwa
keadaan di Indonesia pada saat itu mirip sekadarnya kepada keadaan di Tiongkok
dalam tahun 1927, sebelum kup Ciang Kaisyek. Pendapat saya ialah bahwa ada
bahaya besar bahwa militer di Indonesia juga akan merebut kekuasaan. Saya
anjurkan dengan kera s supaya golongan kiri di Indonesia mempersiapkan diri
untuk perlawanan dibawah tanah, dan mundur ke udik. Jawaban Nyoto ialah bahwa
saat bagi militer untuk dapat rebut kekuasaan sudah terlambat. PKI telah
terlalu kuat baik dalam badan perwira maupun dalam badan bawahan tentara dan
angkatan militer yang lain.
http://marxists.anu.edu.au/glossary/people/a/pics/aidit-dn.jpg
D.N. Aidit
Saya tidak berhasil meyakinkan Njoto. Pagi 1 Oktober '65
kami dengar siaran melalui radio tentang formasi Dewan Revolusi di Jakarta.
Sahabat saya, Prof. De Haas menelpon saya dan menyatakan: "Itu tentu
revolusi kiri!" Saya menjawab: "Awas, menurut saya lebih masuk akal:
provokasi!". Pada tanggal 12 Oktober kami dengar bahwa Jendral Soeharto,
yang belum kenal kami namanya, telah berhasil tangkap kekuasaan. De Haas
telepon saya lagi, dan mengatakan: "Saya takut mungkin kemarin Anda
benar!"
Seminggu sesudahnya saya terima kunjungan dari kepala
sementara kedutaan RRC di Den Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai ahli
politik tentang Indonesia, dan ia hendak mengetahui: "Apa yang sebenarnya
situasi politik di Indonesia sekarang?" Jawaban saya ialah: "Tentu
Anda sebagai orang Tionghoa dapat mengerti keadaan! Sangat mirip kepada yang
terjadi di Tiongkok dalam tahun 1927 waktu Ciang Kaisyek mulai kup kanan dengan
tentaranya, dan komunis kalah, di Syanghai, dan lantar di Hankau (Wuhan) dan di
Canton (Guangzhou)". Ia tidak mau setuju. Di bulan Januari tahun 1966 saya
terima dari beberapa rekan yang saya kenal, yang mengajar di Cornell Univesity
di A.S., suatu 'Laporan Sementara' tentang peristiwa September-Oktober di
Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah peristiwa itu benar suatu kup komunis,
seperti dikatakan oleh penguasa di Indonesia dan oleh dunia Barat.
Yang terima laporan itu, boleh memakai bahannya (begitu
mereka tulis kepada saya), tetapi untuk sementara tanpa menyebut sumbernya,
oleh karena mereka masih mencari bahan tambahan, dan meminta reaksi dan
informasi lagi. Dengan mempergunakan bahan dari laporan Cornell itu, saya
menulis suatu karangan yang dimuat dalam mingguan Belanda "De Groene
Amsterdammer" pada tanggal 19 Februari 1966, dengan judul "Indonesia
berhaluan kanan" Dalam karangan itu saya tanya: mengapa di dunia Barat
sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di Indonesia, kalau dibanding
dengan tragedi lain di dunia, yang kadang- kadang jauh lebih enteng daripada
yang terjadi di Indonesia baru-baru ini? Barangkali alasannya bahwa pandangan
umum seolah-olah golongan kiri sendirilah yang bersalah, apakah bukan mereka
sendiri yang mengorganisir ku p 30 September dan yang bersalah dalam pembunuhan
6 jendral itu?
Maka dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi peristiwa-
peristiwa dan menarik kesimpulan bahwa sedikit sekali bukti tentang golongan
PKI bersalah dalam peristiwa itu. Saya juga tambah bahwa cara perbuatan dengan
menculik dan membunuhi jenderal tidak mungkin berguna untuk PKI - jadi salah
mereka tidak masuk akal. Lagi hampir tidak ada persiapan dari golongan kiri
untuk menghadapi situasi yang akan muncul sesudah kup. Dalam karangan itu saya
juga menyebut kemiripan kepada peristiwa di Shanghai dalam tahun 1927, yang
juga sebenarnya ada kup dari golongan reaksioner. Kesimpulan saya dalam
karangan di "Groene Amsterdammer" itu: "Terminologi resmi di
Indonesia masih adalah kiri, akan tetapi jurusannya adalah kanan".
Kemudian, dalam bulan Februari tahun '67, Mingguan Perancis "Le Monde"
mengumumkan wawancara dengan saya.
Dalam wawancara saya bertanya: "Mengapa Pono dan Sjam,
yang rupanya tokoh penting dalam peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan
dalam proses yang telah diadakan, misalnya proses terhadap Obrus Untung, bahwa
mereka itu orang komunis yang terkemuka.
Apa yang terjadi dengan mereka itu, khususnya dengan Sjam,
yang agaknya seorang provokatir, yang pakai nama palsu?" Mencolok mata
bahwa beberapa minggu sesudah wawancaranya itu ada berita dari Indonesia bahwa
Sjam, yang namanya sebenarnya Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu di
radio Belanda, pagi jam 7. Dikatakan bahwa Sjam itu sebagai seorang Double
agent! Saya ingin dengar lagi siaran jam 8 diulangi bahwa Sjam ditangkap,
tetapi kali ini TIDAK ditambah bahwa ia double agent! Rupanya dari kedutaan
Indonesia ada pesan supaya istilah itu jangan dipakai! Tetapi saya dapat Sinar
Harapan dari 13 Maret '67, dan di sana ada cerita tentang cara Sjam itu
ditangkap. Dan judul berita itu: "Apakah Sjam double agent?"
Tetapi sesudahnya di pers Indonesia istilah double agent itu
tidak pernah diulangi lagi. Dalam semua proses di mana Sjam muncul sebagai
saksi atau terdakwa, Sjam selamanya dilukiskan sebagai seorang komunis yang
sejati, yang dekat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu MENGAKU bahwa dia yang memberi
semua perintah dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi ia selalu tambah bahwa yang
sebenanrya memberi perintah itu Aidit yang juga ada pada hari itu di Halim, dan
yang sebenarnya menurut Sjam dalang dibelakang segala yang terjadi. Tentu Aidit
tidak dapat membela diri dan membantah segala bohong dari Sjam, oleh karena ia
dibunuh dalam bulan November 1965 tanpa suatu proses, ditembak mati oleh
Kolonel Jasir Hadibroto. Begitu juga pemimpin PKI lain, seperti Njoto dan
Lukman, tidak dapat membela diri di pengadilan.
Tentulah segala eksekusi tanpa proses itu membantu Orde Baru
dalam menyembunyikan kebenaran. Sudisman diadili, tetapi pembelaannya tidak
mendapat kemungkinan untuk mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari sejumlah
tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret bagian tentang hal itu dari pleidoinya!
Waktu Sjam kedapatan sebagai double agent yang sebagai militer masuk kedalam
PKI untuk mengintai, saya mulai menduga pula bahwa Soeharto sendiri mungkin
terlibat dalam permainan-munafik.
Pada tanggal 8 April 1967 di mingguan
"De Nieuwe Linie" dimuat lagi wawancara dengan saya. Dalam wawancara
ini saya telah menyebut kemungkinan bahwa "kup" dari 1 Oktober 1965
adalah satu provokasi dari kalangan perwira; dan waktu itu saya telah TAMBAH
bahwa Soehartolah yang paling memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan
begitu: "Aneh sekali: kalau semua itu akan terjadi di suatu cerita
detektif, segala tanda akan menuju kepada dia, Soeharto, paling sedikit sebagai
orang yang sebelumnya telah punya informasi. Misalnya setahun sebelum peristiwa
65, Soeharto turut menghadiri pernikahan Obrus Untung yang diadakan di Kebumen.
Untung dahulu menjadi orang bawahan Soeharto di tentara. Lagi, dalam bulan
Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu dengan Jenderal Supardjo, di
Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah main peranan yang utama
dalam komplotan.
Aneh lagi, bahwa Soeharto tidak ditangkap dalam kup, dan
malahan KOSTRAD tidak diduduki dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun
letaknya di Medan Merdeka dimana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua
militer mengetahui bahwa kalau Yani tidak di Jakarta atau sakit, Soehartolah
sebagai jenderal senior yang menggantikannya. Aneh juga bahwa Soeharto
bertindak secara sangat efisien untuk menginjak pemberontakan, sedangkan grup
Untung dan kawannya semua bingung." Wawancara itu saya akhiri dengan
mengatakan: "Tetapi sejarahpun lebih ruwet dan sukar daripada
detective-story" .
Begitulah pendapat saya di tahun 1967. Tetapi dalam tahun
1970 terbit buku Arnold Brackman, jurnalis A.S. yang sangat reaksioner;
judulnya "The Communist Collapse in Indonesia". Di halaman 100
Brackman menceritakan isi suatu wawancara dengan Soeharto, agaknya dalam tahun
1968 atau 1969, tentang suatu pertemuan Soeharto dengan Kolonel Latief, tokoh
yang ketiga dari pimpinan kup tahun 65. Isinya: "Dua hari sebelum 30
September anak lelaki kami, yang umurnya 3 tahun, dapat celaka di rumah. Ia
ketumpahan sup panas, dan kami dengan buru-buru perlu mengantarkannya ke rumah
sakit.
Banyak teman menjenguk anak saya di sana pada malam 30
September, dan saya juga berada di rumah sakit. Lucu juga kalau diingat
kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu untuk
menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu atas keprihatinannya. Ternyata
kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam kejadian yang sesudahnya. Kini
menjadi jelas bagi saya malam itu Latief ke rumah sakit bukan untuk menjenguk
anak saya, melainkan sebenar-nya UNTUK MENCEK SAYA. Ia hendak tahu betapa
genting celaka anak saya dan ia dapat memastikan bahwa saya akan terlampau
prihatin dengan keadaan anak saya. Saya tetap di rumah sakit sampai menjelang
tengah malam dan kemudian pulang ke rumah". Begitulah kutipan dari buku
Brackman tentang wawancaranya dengan Soeharto.
Untuk saya pengakuan ini dari
Soeharto, bahwa ia bertemu dengan Kolonel Latief kira-kira empat jam sebelum
aksi terhadap 7 jenderal mulai, sungguh merupakan 'rantai yang hilang' - the
missing link dalam detective story. Hal ini dengan jelas membuktikan hubungan
Soeharto dengan tokoh utama dalam peristiwa tahun 1965.
Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah
Sakit Militer, 3 atau 4 jam sebelum serangan terhadap rumah-rumah 7 jenderal
mulai, maksudnya untuk menceritakan pada Soeharto tentang rencana mereka ¡V
tetapi sukar membuktikan itu selama Soeharto berkuasa, dan Latief dalam situasi
orang tahanan. Hanya satu hal yang kurang terang. Mengapa Soeharto
mencerita-kan pada Brackman tentang pertemuan ini? Agaknya ada orang yang
memperhatikan kedatangan Latief ke rumah sakit. Oleh karena itu Soeharto merasa
perlu memberi alasan kunjungan itu yang dalam dipahami: Latief mau periksa
apakah Soeharto begitu susah oleh karena keadaan sehingga ia tak mungkin
bertindak pada esok harinya! Pengakuan Soeharto itu menjadi untuk saya kesempatan
untuk mengumumkan karangan di mingguan "Vrij Nederland" pada tanggal
29 Agustus 1970, dengan judul "De schakel die ontbrak: Wat deed Soeharto
in de nacht van de staatsgreep? " (Rantai yang hilang: apa yang diperbuat
Soeharto pada malam kup?).
Dalam karangan itu saya menguraikan segala petunjuk bahwa
Soeharto benar terlibat di dalam peristiwa tahun 65. Karangan ini dimuat satu
hari sebelum Soeharto datang ke Belanda untuk kunjungan resmi - kunjungan yang
gagal sama sekali. Karangan yang serupa itu juga saya umumkan dalam bahasa
Inggris di dalam majalah ilmiah "Journal of Contemporary Asia" tahun
1979, dengan judul: "Soeharto and the Untung Coup: The Missing Link".
Waktu saya mengumumkan dua karangan itu, saya belum mengetahui bahwa dalam
wawancara lain, sebelum bulan Agustus 1970 itu, Soeharto sekali lagi menyebut
pertemuannya dengan Kolonel Latief itu - tetapi kali ini dengan nada yang
sangat berlainan. Wawancara itu dimuat dalam mingguan Jerman Barat, "Der
Spiegel", tanggal 27 Juni, halaman 98. Wartawan Jerman itu bertanya:
"Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk daftar jenderal-jenderal yang harus
dibunuh?" Jawaban Soeharto yaitu: "Pada jam 11 malam Kolonel Latief,
seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk membunuh saya,
tetapi nampak akhirnya ia tidak elaksanakan rencananya karena tidak berani
melakukannya di tempat umum."
Masa, heran seolah-olah Kolonel Latief ada rencana untuk
membunuh Soeharto, 4 jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal yang lain akan
dimulai, yang tentu berakibat seluruh komplotan akan gagal! Kebohongan Soeharto
itu suatu bukti lagi bahwa Soeharto mau menyembunyikan apa-apa, dan cari akal
untuk luput dari persangkaan ia terlibat dalam kup! Sedangkan tokoh lain dari
komplotan, sebagai Obrus Untung, Jenderal Supardjo dan Mayor Sudjono sudah lama
terkena hukuman mati dan diekseskusi, Kolonel Latief selama lebih dari 10 tahun
tidak diadili.
Alasan yang disebut oleh pemerintah, yaitu bahwa ia
'sakit-sakitan' an tidak dapat menghadiri sidang pengadilan. Benar bahwa ia
kena luka berat di kaki waktu tertangkap; tetapi kawannya di penjara mengatakan
bahwa ia sudah lama dapat menghadap di sidang sebagai saksi atau terdakwa.
Akhirnya, dalam tahun 1978 sidang dalam perkara Latief mulai. Dalam eksepsinya
dari tanggal 5 Mei, Latief telah memberi keterangan, bahwa ia besama
keluarganya berkunjung di rumah Soeharto dengan dihadiri Ibu Tien, dua hari
sebelum tanggal 30 September; ia juga menceritakan bahwa ia mengunjungi
Soeharto pada malam 30 September di Rumah Sakit Militer. Ia menerangkan bahwa
ia, Obrus Untung dan Jenderal Supardjo, yang baru pulang dari Kalimantan,
bertiga pimpinan militer dari aksi keesokan harinya, berkumpul di rumahnya pada
jam 8 untuk berunding.
Mereka memutuskan untuk malam itu juga menemui Soeharto,
untuk memperoleh dukungannya dalam rencana. Latief mengusulkan supaya mereka
akan bertiga menghadap Soeharto, tetapi Untung tidak berani, dan mereka
akhirnya mengutus Latief oleh karena ia yang paling dekat dengan Soeharto.
Untung dan Supardjo masih punya urusan lain yang penting. Latief telah menjadi
bawahan dari Soeharto waktu Jogya diduduki Belanda, tahun 1949. Malahan,
menurut keterangan Latief dalam eksepsinya, waktu serangan ke Jogya pada
tanggal 1 Maret 1949, dengan Jogya diduduki pasukan Republik selama 6 jam,
bukan Soeharto yang sebenarnya masuk Jogya melainkan Latief sendiri! Waktu
Latief pulang ke komandonya di pegunungan bersama grupnya, Soeharto bersama
ajudannya sedang makan soto! Pada waktu komando Mandala yang dibawah komando
Soeharto, Latief menjadi kepala intellijen dari Komando di Makasar.
Dalam eksepsinya Latief dengan terang menjelaskan bahwa
waktu ia bertemu dengan Soeharto di rumah sakit, ia menceritakan padanya
seluruh rencana untuk malam itu. Ia minta pengadilan supaya Soeharto dan
istrinya akan dipanggil sebagai saksi. Putusan pengadilan: tidak, karena
kesaksiannya tak akan 'relevan'. Dalam pledoinya yang tertulis Latief
mengulangi lebih jelas lagi tentang pembicaraannya di rumah sakit. Dia
menerangkan: "Setelah saya lapor kepada Jenderal Soeharto mengenai Dewan
Jenderal dan lapor pula mengenai Gerakan, Jenderal Soeharto menyetujuinya dan
tidak pernah mengeluarkan perintah melarang" (hal. 128). Pledoi dan
Eksepsi Latief kami punya seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Dalam pers
Indonesia segala keterangannya tentang pertemuan dengan Soeharto itu sama
sekali tidak diumumkan dan tidak diperhatikan.
Mengapa begitu? Untuk saya dari mulanya jelas bahwa
keterangan yang lebih sempurna lagi disimpan di suatu tempat DILUAR Indonesia,
dengan pesan supaya lantas diumumkan kalau Latief akan dibunuh! Soeharto
agaknya takut kalau kebenaran tentang pertemuan dengan Latief akan diumumkan!
Dalam otobiografinya ia bohong sekali lagi: ia menceritakan bahwa ia bukan
BERTEMU dengan Latief di rumah sakit, melainkan hanya lihat dari ruangan di
mana anaknya dirawat dan di mana ia berjaga bersama Ibu Tien, bahwa Latief
jalan di koridor melalui kamar itu! Siapa sudi percaya? Juga aneh sekali bahwa
Soeharto ,menurut keterangannya sendiri, jam 12 malam waktu keluar dari rumah sakit,
bukan terus mencoba memberikan tanda berwaspada kepada jenderal-jenderal
kawannya yang dalam tempo tiga atau empat jam kemudian akan ditimpa nasib
malang, m elainkan terus pulang ke rumah untuk tidur! Hal yang menarik yaitu
bahwa Kolonel Latief beberapa waktu silam telah meminta pada Soeharto supaya
hukumannya dikurangi.
Dalam Far Eastern Economic Review dari 2 Agustus tahun ini
(1990) diberitahukan bahwa memoirenya disimpan di satu bank - entah di mana.
Jadi, telah agak tentu bahwa Soeharto terlibat dalam peristiwa 65 dengan berat.
Menurut fasal 4 dari Keputusan Kepala Kopkamtib bertanggal 18 Oktober tahun
1968, dalam Golongan A yang paling berat termasuk semua orang yang terlibat
dengan langsung, di antaranya dalam grup itu juga segala orang yang mempunyai
pengetahuan lebih dahulu terhadap rencana kup dan yang lalui dalam melapor
kepada yang berwajib. Jadi, Soeharto pada malam itu seharusnya mesti melapor
paling sedikit kepada Jenderal Yani! Dan tentu juga kepada Jenderal Nasution.
Artinya bahwa Soeharto jauh lebih jelas 'terlibat' dalam peristiwa 1 Oktober
'65 daripada semua korbannya yang selama 10 tahun atau 14 tahun ditahan di
penjara atau di kamp konsentrasi seperti di pulau Buru, dengan alasan bahwa
mereka terlibat 'tidak langsung' dalam peristiwa G30S!
Jadi, sekarang telah jelas bahwa Soeharto terlibat oleh
karena mempunyai pengetahuan lebih dahulu. Lebih sukar membuktikan, bahwa ia
juga aktip dalam suatu PROVOKASI. Soeharto tentu bukan satu-satunya orang yang
punya pengetahuan lebih dahulu. Terang bahwa Kamaruzzaman (Sjam) memainkan
peran penting sekali dalam provokasi. Ia militer, agaknya dalam Kodam V
Jakarta.
Tetapi siapa atasannya yang mendorongnya untuk mempersiapkan
kup bersama tiga perwira tinggi itu, dengan maksud untuk memkompromitir baik
PKI maupun Soekarno? Sekarang saya akan coba memberi analisa yang sedikit
mendalam. Memang ada orang lain yang punya pengetahuan lebih dahulu. Barangkali
Soekarno sendiri punya sedikit pengetahuan lebih dahulu.
Tetapi tentu ia tidak ingin PEMBUNUHAN jenderal yang
dituduhi membangun Dewan Jenderal. Barangkali maksudnya hanya untuk menuntut
pertanggungjawaban mereka. Sesudah ia dengar bahwa ada beberapa jenderal yang
mati, ia memberi perintah supaya seluruh aksi itu berhenti. Mungkin juga bahwa
tiga perwira tinggi itu, Untung, Latief dan Supardjo, bukan menghendaki
pembunuhan, melainkan hanya menuntut pertanggungjawaban mereka. Juga tidak
jelas mengapa Aidit, ketua PKI, dijemput dari rumahnya pada malam itu dan
diantarkan ke Halim.
Rupanya pada saat itu ia punya kepercayaan kepada Sjam.
Tetapi kami sama sekali tidak tahu peranan Aidit sesudah ia disembunyikan di
rumah seorang bintara di Halim; menurut segala kesaksian ia tidak muncul dalam
perundingan- perundingan dan pertemuan-pertemuan , lagi pula tidak bertemu
dengan Presiden Soekarno yang juga dibawa ke Halim. Oleh karena ia dibunuh
tanpa proses, kami tidak punya keterangan dari dia sendiri - kami hanya punya
keterangan dari Sjam yang membohong seolah-olah semua ia, Sjam, berbuat,
terjadi atas perintah Aidit.
Misalnya dalam proses Latief di tahun 1978 Sjam 'mengaku'
bahwa bukan Latief, melainkan DIA yang memberi perintah untuk m embunuhi
jenderal- jenderal yang masih hidup waktu dibawa ke Lubang Buaya ¡V tetapi ia
tambah seolah- olah pembunuhan itu juga atas perintah Aidit. Jadi seluruh
perbuatan Sjam dimaksud untuk memburukkan nama PKI. Dan suatu alasan mengapa
Latief TIDAK dapat hukuman mati, ialah oleh karena ia mungkir bahwa dia yang
perintahkan membunuhi jenderal, dan Sjam dalam proses itu mengakui bahwa ia
sendiri yang memerintahkannya. Tetapi segala 'jasanya' kepada grup Soeharto
tidak berguna untuk dia pribadi: beberapa tahun silam ia dieksekusi bersama
pembantunya Pono dan Bono.
Agak jelas bahwa pada malam 30 September, dua-duanya,
Soekarno dan Aidit yakin bahwa Dewan Jenderal sebenarnya ada dan bahwa Dewan
itu berencana untuk merebut kekuasaan pada tanggal 5 Oktober 1965. Begitu juga
grup Untung, Latief dan Supardjo memang yakin bahwa Dewan Jenderal itu memang
ada. Dalam prosesnya dalam tahun 1967 Sudisman turut menjelaskan bahwa ia masih
yakin tentang eksistensi Dewan Jenderal itu dan rencana mereka.
sumber :
berbagai sumber