"Seven Pagodas" atau Tujuh Pagoda telah menjadi julukan untuk kota di selatan India, Mahabalipuram, yang juga disebut Mamallapuram,
sejak penjelajah Eropa pertama menginjakkan kaki di kota ini. Ungkapan
"Tujuh Pagoda" mengacu pada mitos yang telah lama beredar di India
sebelumnya, baru ke Eropa, dan bagian lain dari dunia selama lebih dari
sebelas abad.
Sebuah candi yang bernama Shore Temple di Mahabalipuram, yang dibangun
pada abad ke-8 di bawah pemerintahan Narasimhavarman II, berdiri di
pantai Teluk Benggala. Legenda mengatakan bahwa enam candi lain pernah
berdiri bersamanya.
MITOS
Sebuah legenda Hindu kuno ada yang menceritakan asal-usul pagoda. Pangeran Hiranyakasipu menolak untuk menyembah dewa Wisnu. Putra sang pangeran, Prahlada, yang mencintai Wisnu mengkritik kurangnya iman ayahnya. Hiranyakasipu membuang Prahlada tapi kemudian memanggilnya pulang kembali ke rumah. Ayah dan anak kembali mulai berdebat tentang Wisnu. Ketika Prahlada menyatakan bahwa Wisnu hadir di mana-mana, termasuk di dinding rumah mereka, ayahnya menendang sebuah pilar. Wisnu pun muncul dari pilar dalam bentuk seorang pria dengan kepala singa, dan membunuh Hiranyakasipu. Prahlada akhirnya menjadi raja, dan memiliki seorang putra bernama Bali. Bali mendirikan Mahabalipuram di situs ini.
Bukti kuno yang tidak jelas
Asal candi telah dikaburkan oleh waktu, dan kurangnya catatan sejarah
tertulis. D. R. Fyson, orang inggris yang menetap di Madras (sekarang
Chennai), menulis sebuah buku singkat tentang kota ini berjudul
'Mahabalipuram or Seven Pagodas', yang dimaksudkan sebagai souvenir
panduan untuk wisatawan Eropa. Di dalamnya, ia menyatakan bahwa Raja
dinasti Pallava, Narasimharavarman I lah yang mulai membangun dan
sekaligus memperbesar Mahabalipuram, sekitar 630 M. Saat itu belum ada
bukti arkeologi yang menunjukkan apakah kota yang dibangun oleh
Narasimharavarman I ini adalah yang pertama yang dihuni di lokasi ini.
Sekitar 30 tahun sebelum berdirinya kota Narasimharavarman I, Raja dari dinasti yang sama, Mahendravarman memulai serangkaian pembangunan "kuil gua" yang diukir dilereng bukit berbatu. Bertentangan dengan namanya, kebanyakan kuil gua ini bukan gua alami. Mahendravarman I dan Narasimharavarman I juga memerintahkan pembangunan kuil/candi yang berdiri bebas, yang disebut Rathas dalam bahasa daerah, Tamil. Sembilan Rathas saat itu berdiri di lokasi itu. Pembangunan kedua jenis candi di Mahabalipuram tampaknya berakhir sekitar 640 M. Fyson menyatakan bahwa bukti arkeologis mendukung klaim bahwa sebuah biara (vihara) ada di Mahabalipuram kuno. Ide biara diadopsi dari praktek penduduk Buddhis masa lalu di kawasan itu. Fyson menunjukkan bahwa tempat para biarawan mungkin telah dibagi antara sejumlah Rathas kota. Pengaruh Buddha juga tampak dalam bentuk pagoda tradisional dari Candi/Kuil Shore dan arsitektur lainnya yang masih tersisa.
Fyson mengkhususkan halaman terakhir dari buku tipisnya, untuk mitos yang sebenarnya dari tujuh pagoda. Dia menceritakan mitos lokal mengenai pagoda, bahwa Dewa Indra menjadi cemburu dengan kota duniawi yang megah ini dan kemudian menenggelamkannya selama badai besar, dan hanya menyisakan Shore Temple di atas air. Dia juga menceritakan pernyataan dari orang-orang Tamil setempat bahwa setidaknya beberapa dari candi lainnya dapat dilihat "berkilauan di bawah gelombang" dari perahu nelayan. Apakah enam pagoda yang hilang itu benar-benar ada atau tidak, tampaknya tidak menjadi perhatian utama Fyson. Namun, enam candi yang hilang terus memikat penduduk setempat, para arkeolog, dan para pecinta mitos.
Penjelajah (penjajah) Eropa
Sejarawan India N. S. Ramaswami menyebut Marco Polo sebagai salah satu orang Eropa yang pertama mengunjungi Mahabalipuram. Marco Polo meninggalkan beberapa rincian kunjungannya tetapi tidak menandainya pada Peta Catalan nya tahun 1275.
Banyak orang Eropa yang berkunjung kemudian, menceritakan kisah Tujuh Pagoda. Yang pertama menuliskannya adalah John Goldingham, seorang astronom Inggris yang tinggal di Madras di akhir abad 18 dan awal abad 19. Dia menulis akun kunjungannya dan legenda pada tahun 1798, yang kemudian dikumpulkan oleh Mark William Carr dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1869 berjudul "Makalah Deskriptif dan Sejarah yang Berkaitan dengan Tujuh Pagoda di Coromandel Coast". Dalam bukunya Goldingham menjelaskan semua seni, patung, dan prasasti yang ditemukan di seluruh situs arkeologi di Mahabalipuram. Dia menyalin banyak prasasti dengan tangan dan memasukkannya dalam esainya.
Pada tahun 1914, penulis inggris, J.W. Coombes mempercayai legenda pagoda setempat. Menurut dia, pagoda pernah berdiri di tepi pantai, dan kubah tembaga mereka merefleksikan sinar matahari dan menjadi tengara bahari. Dia menyatakan bahwa saat itu tidak diketahui dengan pasti, berapa banyak pagoda pernah ada. Ia percaya bahwa jumlahnya mungkin hampir tujuh.
Uniknya, sejarawan india, N.S. Ramaswami menuduh bahwa mitos tujuh pagoda yang dipercaya oleh orang eropa itu adalah dampak/akibat salah tafsir orang eropa terhadapi Syair seorang penyair eropa, Robert Southey, yang berjudul "The Curse of Kehama", diterbitkan pada tahun 1810. Dalam puisinya, Southey jelas menyatakan bahwa lebih dari satu Pagoda terlihat. Tapi menurut Ramaswami, itu merujuk pada kota lain, bukan Mahabalipuram. Southey menceritakan kisah-kisah romantis dari banyak budaya di seluruh dunia, termasuk India, Roma, Portugal, Paraguay, dan suku-suku asli Amerika, yang semuanya didasarkan pada akun perjalanan orang lain, dan imajinasinya sendiri. Menurut Ramaswami "Kutukan Kehama" jelas mempengaruhi pemikiran orang eropa.
Ramaswami juga mengatakan bahwa penjelajah Eropa tidak sepenuhnya negatif. Dia mencatat bahwa, sebelum orang Eropa mulai mengunjungi India Selatan, banyak monumen kecil di Mahabalipuram yang sebagian atau seluruhnya ditutupi oleh pasir. Para penjajah dan keluarga mereka memainkan peran penting dalam mengungkap situs arkeologi di waktu luang mereka. Setelah para Arkeolog Inggris saat itu menyadari tingkat dan keindahan situs, menjelang akhir abad ke-18, mereka menunjuk antiquarians berpengalaman seperti Colin Mackenzie untuk memimpin penggalian.
Sebelum akhir 2004, semua bukti tentang keberadaan Tujuh Pagoda sebagian
besar adalah anekdot. Keberadaan Shore Temple, candi yang lebih kecil
dan Rathas hanya membuktikan bahwa daerah tersebut memiliki makna
keagamaan yang kuat, tetapi ada sebuah bukti baru yaitu sebuah lukisan
dari era Pallava yang menggambarkan sebuah komplek candi. Ramaswami
bahkan menulis secara eksplisit dibukunya tahun 1993 yang berjudul
"Candi-Candi di India Selatan", bahwa "Tidak ada kota yang tenggelam di
Mamallapuram. Julukan yang diberikan oleh orang Eropa , 'The Seven Pagodas' adalah irasional dan tidak dapat dipertanggungjawabkan".
Namun kemudian pada tahun 2002 para ilmuwan memutuskan untuk menjelajahi daerah lepas pantai Mahabalipuram, dimana banyak nelayan Tamil modern yang mengaku telah melihat sekilas reruntuhan di dasar laut. Proyek ini merupakan upaya bersama antara National Institute of Oceanography (NIO, India) dan Scientific Exploration Society, (Vora, Inggris). Kedua tim menemukan sisa-sisa dinding di kedalaman 5 sampai 8 meter, dan 500 sampai 700 meter dari pantai. Tata letak dinding tersebut mengisaratkan bahwa mereka adalah dinding beberapa kuil. Para Arkeolog juga mengatakan bahwa dinding tersebut bertanggal kembali ke era Pallava, kira-kira saat Mahendravarman I dan Narasimharavarman I memerintah wilayah tersebut. Para ilmuwan juga menambahkan bahwa situs bawah air mungkin mengandung struktur tambahan dan artefak , dan layak untuk dieksplorasi lebih lanjut di masa depan.
Sesaat sebelum tsunami
Sesaat sebelum tsunami 26 desember 2004 melanda Samudera Hindia, termasuk Teluk Benggala, air laut di lepas pantai Mahabalipuram surut sekitar 500 meter. Banyak turis dan warga setempat yang menyaksikan peristiwa surutnya air laut ini melihat, barisan batu-batu besar yang panjang muncul dari air. Setelah sunami datang, batu-batu ini tertutup kembali oleh air. Namun, sedimen yang berabad abad telah menutupinya kini telah pergi. Tsunami juga membuat beberapa perubahan garis pantai, yang menyebabkan beberapa patung dan struktur kecil yang sebelumnya terendam air, ditemukan di pantai.
Setelah tsunami
Kesaksian para saksi yang melihat semacam bangunan sesaat sebelum sunami, kembali mendorong ketertarikan kalangan ilmiah terhadap situs ini. Mungkin temuan arkeologi paling terkenal setelah tsunami adalah patung batu singa besar, yang muncul di pantai karena perubahan garis pantai Mahabalipuram yang disebabkan oleh sunami. Patung singa ini ternyata berasal dari abad ke -7. Penduduk setempat dan wisatawan telah berbondong-bondong untuk melihat patung ini tak lama setelah tsunami.
Pada April 2005, Survei Arkeologi India (ASI) dan Angkatan Laut India mulai mencari di perairan lepas pantai Mahabalipuram dengan perahu, menggunakan teknologi sonar (Das). Mereka menemukan bahwa deretan batu-batu besar yang telah dilihat orang sesaat sebelum tsunami adalah bagian dari dinding setinggi 6 kaki dan panjangnya 70 meter. ASI dan Angkatan Laut juga menemukan sisa-sisa dua candi terendam lain dan satu kuil gua dalam jarak 500 meter dari pantai. Meskipun temuan ini tidak/belum begitu sesuai dengan mitos tujuh pagoda, setidaknya mereka menunjukkan bahwa sebuah kompleks besar kuil berada di Mahabalipuram. Ini membuat mitos yang selama ini beredar menjadi lebih dekat dengan realitas - dan ada kemungkinan lebih banyak penemuan yang menunggu untuk ditemukan.
Arkeolog ASI, Alok Tripathi mengatakan kepada The Times of India pada wawancara Februari 2005, bahwa eksplorasi sonar telah memetakan dinding dalam dan luar dari dua candi yang terendam. Dia menjelaskan bahwa timnya belum bisa menunjukkan fungsi bangunan ini. A.K. Sharma dari Angkatan Laut India juga mengatakan kepada The Times of India bahwa tata letak struktur yang terendam ini terkait dengan Shore Temple dan struktur yang tidak terendam lainnya, dan juga cocok dengan lukisan era Pallava tentang komplek Tujuh Pagoda.
Arkeolog T. Satyamurthy dari ASI juga menyebutkan pentingnya temuan sebuah prasasti yang muncul di pantai setelah tsunami. Prasasti tersebut menyatakan bahwa Raja Krishna III telah membayar para penjaga api abadi di sebuah kuil tertentu. Para arkeolog mulai menggali di sekitar prasati tersebut ditemukan, dan dengan cepat menemukan struktur candi Pallava lain. Mereka juga menemukan banyak koin dan item yang digunakan dalam upacara keagamaan Hindu kuno. Saat penggalian candi era Pallava ini, para arkeolog juga menemukan fondasi era Tamil Sangam, berusia sekitar 2000 tahun. Kebanyakan arkeolog yang bekerja di situs percaya bahwa tsunami pernah melanda daerah ini kira-kira antara periode Tamil Sangam dan Pallava, menghancurkan kuil tua.
ASI secara tidak sengaja juga menemukan struktur yang jauh lebih tua di situs. Sebuah struktur bata kecil, yang sebelumnya tertutup oleh pasir, muncul di pantai setelah tsunami. Para arkeolog meneliti struktur itu, dan diketahui struktur itu berasal dari periode Tamil Sangam. Meskipun struktur ini tidak cocok dengan legenda tradisional, namun ini menambahkan intrik dan kemungkinan sejarah yang belum tereksplorasi di situs.
Pendapat di kalangan arkeolog saat ini adalah bahwa tsunami lain pernah menghancurkan kuil Pallava di abad ke-13. Ilmuwan ASI, G. Thirumoorthy mengatakan kepada BBC bahwa bukti fisik dari tsunami abad ke-13 dapat ditemukan di hampir sepanjang East Coast India.
Shore Temple |
MITOS
Sebuah legenda Hindu kuno ada yang menceritakan asal-usul pagoda. Pangeran Hiranyakasipu menolak untuk menyembah dewa Wisnu. Putra sang pangeran, Prahlada, yang mencintai Wisnu mengkritik kurangnya iman ayahnya. Hiranyakasipu membuang Prahlada tapi kemudian memanggilnya pulang kembali ke rumah. Ayah dan anak kembali mulai berdebat tentang Wisnu. Ketika Prahlada menyatakan bahwa Wisnu hadir di mana-mana, termasuk di dinding rumah mereka, ayahnya menendang sebuah pilar. Wisnu pun muncul dari pilar dalam bentuk seorang pria dengan kepala singa, dan membunuh Hiranyakasipu. Prahlada akhirnya menjadi raja, dan memiliki seorang putra bernama Bali. Bali mendirikan Mahabalipuram di situs ini.
Bukti kuno yang tidak jelas
Rathas Nakula & Sadewa, th 1914 bagian dari komplek 7 Pagoda |
Sekitar 30 tahun sebelum berdirinya kota Narasimharavarman I, Raja dari dinasti yang sama, Mahendravarman memulai serangkaian pembangunan "kuil gua" yang diukir dilereng bukit berbatu. Bertentangan dengan namanya, kebanyakan kuil gua ini bukan gua alami. Mahendravarman I dan Narasimharavarman I juga memerintahkan pembangunan kuil/candi yang berdiri bebas, yang disebut Rathas dalam bahasa daerah, Tamil. Sembilan Rathas saat itu berdiri di lokasi itu. Pembangunan kedua jenis candi di Mahabalipuram tampaknya berakhir sekitar 640 M. Fyson menyatakan bahwa bukti arkeologis mendukung klaim bahwa sebuah biara (vihara) ada di Mahabalipuram kuno. Ide biara diadopsi dari praktek penduduk Buddhis masa lalu di kawasan itu. Fyson menunjukkan bahwa tempat para biarawan mungkin telah dibagi antara sejumlah Rathas kota. Pengaruh Buddha juga tampak dalam bentuk pagoda tradisional dari Candi/Kuil Shore dan arsitektur lainnya yang masih tersisa.
Fyson mengkhususkan halaman terakhir dari buku tipisnya, untuk mitos yang sebenarnya dari tujuh pagoda. Dia menceritakan mitos lokal mengenai pagoda, bahwa Dewa Indra menjadi cemburu dengan kota duniawi yang megah ini dan kemudian menenggelamkannya selama badai besar, dan hanya menyisakan Shore Temple di atas air. Dia juga menceritakan pernyataan dari orang-orang Tamil setempat bahwa setidaknya beberapa dari candi lainnya dapat dilihat "berkilauan di bawah gelombang" dari perahu nelayan. Apakah enam pagoda yang hilang itu benar-benar ada atau tidak, tampaknya tidak menjadi perhatian utama Fyson. Namun, enam candi yang hilang terus memikat penduduk setempat, para arkeolog, dan para pecinta mitos.
Penjelajah (penjajah) Eropa
Sejarawan India N. S. Ramaswami menyebut Marco Polo sebagai salah satu orang Eropa yang pertama mengunjungi Mahabalipuram. Marco Polo meninggalkan beberapa rincian kunjungannya tetapi tidak menandainya pada Peta Catalan nya tahun 1275.
Banyak orang Eropa yang berkunjung kemudian, menceritakan kisah Tujuh Pagoda. Yang pertama menuliskannya adalah John Goldingham, seorang astronom Inggris yang tinggal di Madras di akhir abad 18 dan awal abad 19. Dia menulis akun kunjungannya dan legenda pada tahun 1798, yang kemudian dikumpulkan oleh Mark William Carr dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1869 berjudul "Makalah Deskriptif dan Sejarah yang Berkaitan dengan Tujuh Pagoda di Coromandel Coast". Dalam bukunya Goldingham menjelaskan semua seni, patung, dan prasasti yang ditemukan di seluruh situs arkeologi di Mahabalipuram. Dia menyalin banyak prasasti dengan tangan dan memasukkannya dalam esainya.
Pada tahun 1914, penulis inggris, J.W. Coombes mempercayai legenda pagoda setempat. Menurut dia, pagoda pernah berdiri di tepi pantai, dan kubah tembaga mereka merefleksikan sinar matahari dan menjadi tengara bahari. Dia menyatakan bahwa saat itu tidak diketahui dengan pasti, berapa banyak pagoda pernah ada. Ia percaya bahwa jumlahnya mungkin hampir tujuh.
Uniknya, sejarawan india, N.S. Ramaswami menuduh bahwa mitos tujuh pagoda yang dipercaya oleh orang eropa itu adalah dampak/akibat salah tafsir orang eropa terhadapi Syair seorang penyair eropa, Robert Southey, yang berjudul "The Curse of Kehama", diterbitkan pada tahun 1810. Dalam puisinya, Southey jelas menyatakan bahwa lebih dari satu Pagoda terlihat. Tapi menurut Ramaswami, itu merujuk pada kota lain, bukan Mahabalipuram. Southey menceritakan kisah-kisah romantis dari banyak budaya di seluruh dunia, termasuk India, Roma, Portugal, Paraguay, dan suku-suku asli Amerika, yang semuanya didasarkan pada akun perjalanan orang lain, dan imajinasinya sendiri. Menurut Ramaswami "Kutukan Kehama" jelas mempengaruhi pemikiran orang eropa.
Ramaswami juga mengatakan bahwa penjelajah Eropa tidak sepenuhnya negatif. Dia mencatat bahwa, sebelum orang Eropa mulai mengunjungi India Selatan, banyak monumen kecil di Mahabalipuram yang sebagian atau seluruhnya ditutupi oleh pasir. Para penjajah dan keluarga mereka memainkan peran penting dalam mengungkap situs arkeologi di waktu luang mereka. Setelah para Arkeolog Inggris saat itu menyadari tingkat dan keindahan situs, menjelang akhir abad ke-18, mereka menunjuk antiquarians berpengalaman seperti Colin Mackenzie untuk memimpin penggalian.
Shore temple sekitar tahun 1914 |
Namun kemudian pada tahun 2002 para ilmuwan memutuskan untuk menjelajahi daerah lepas pantai Mahabalipuram, dimana banyak nelayan Tamil modern yang mengaku telah melihat sekilas reruntuhan di dasar laut. Proyek ini merupakan upaya bersama antara National Institute of Oceanography (NIO, India) dan Scientific Exploration Society, (Vora, Inggris). Kedua tim menemukan sisa-sisa dinding di kedalaman 5 sampai 8 meter, dan 500 sampai 700 meter dari pantai. Tata letak dinding tersebut mengisaratkan bahwa mereka adalah dinding beberapa kuil. Para Arkeolog juga mengatakan bahwa dinding tersebut bertanggal kembali ke era Pallava, kira-kira saat Mahendravarman I dan Narasimharavarman I memerintah wilayah tersebut. Para ilmuwan juga menambahkan bahwa situs bawah air mungkin mengandung struktur tambahan dan artefak , dan layak untuk dieksplorasi lebih lanjut di masa depan.
Sesaat sebelum tsunami
Sesaat sebelum tsunami 26 desember 2004 melanda Samudera Hindia, termasuk Teluk Benggala, air laut di lepas pantai Mahabalipuram surut sekitar 500 meter. Banyak turis dan warga setempat yang menyaksikan peristiwa surutnya air laut ini melihat, barisan batu-batu besar yang panjang muncul dari air. Setelah sunami datang, batu-batu ini tertutup kembali oleh air. Namun, sedimen yang berabad abad telah menutupinya kini telah pergi. Tsunami juga membuat beberapa perubahan garis pantai, yang menyebabkan beberapa patung dan struktur kecil yang sebelumnya terendam air, ditemukan di pantai.
Candi yang terendam di Mahabalipuram |
Setelah tsunami
Kesaksian para saksi yang melihat semacam bangunan sesaat sebelum sunami, kembali mendorong ketertarikan kalangan ilmiah terhadap situs ini. Mungkin temuan arkeologi paling terkenal setelah tsunami adalah patung batu singa besar, yang muncul di pantai karena perubahan garis pantai Mahabalipuram yang disebabkan oleh sunami. Patung singa ini ternyata berasal dari abad ke -7. Penduduk setempat dan wisatawan telah berbondong-bondong untuk melihat patung ini tak lama setelah tsunami.
Patung Singa |
Pada April 2005, Survei Arkeologi India (ASI) dan Angkatan Laut India mulai mencari di perairan lepas pantai Mahabalipuram dengan perahu, menggunakan teknologi sonar (Das). Mereka menemukan bahwa deretan batu-batu besar yang telah dilihat orang sesaat sebelum tsunami adalah bagian dari dinding setinggi 6 kaki dan panjangnya 70 meter. ASI dan Angkatan Laut juga menemukan sisa-sisa dua candi terendam lain dan satu kuil gua dalam jarak 500 meter dari pantai. Meskipun temuan ini tidak/belum begitu sesuai dengan mitos tujuh pagoda, setidaknya mereka menunjukkan bahwa sebuah kompleks besar kuil berada di Mahabalipuram. Ini membuat mitos yang selama ini beredar menjadi lebih dekat dengan realitas - dan ada kemungkinan lebih banyak penemuan yang menunggu untuk ditemukan.
Arkeolog ASI, Alok Tripathi mengatakan kepada The Times of India pada wawancara Februari 2005, bahwa eksplorasi sonar telah memetakan dinding dalam dan luar dari dua candi yang terendam. Dia menjelaskan bahwa timnya belum bisa menunjukkan fungsi bangunan ini. A.K. Sharma dari Angkatan Laut India juga mengatakan kepada The Times of India bahwa tata letak struktur yang terendam ini terkait dengan Shore Temple dan struktur yang tidak terendam lainnya, dan juga cocok dengan lukisan era Pallava tentang komplek Tujuh Pagoda.
Ekskavasi situs di pantai Mahabalipuram, India. |
Para peneliti menyelidiki sebuah artefak kuno yang diungkap oleh tsunami di pantai Mahabalipuram, 45 km sebelah selatan Madras, India, 17 Feb 2005 |
Arkeolog T. Satyamurthy dari ASI juga menyebutkan pentingnya temuan sebuah prasasti yang muncul di pantai setelah tsunami. Prasasti tersebut menyatakan bahwa Raja Krishna III telah membayar para penjaga api abadi di sebuah kuil tertentu. Para arkeolog mulai menggali di sekitar prasati tersebut ditemukan, dan dengan cepat menemukan struktur candi Pallava lain. Mereka juga menemukan banyak koin dan item yang digunakan dalam upacara keagamaan Hindu kuno. Saat penggalian candi era Pallava ini, para arkeolog juga menemukan fondasi era Tamil Sangam, berusia sekitar 2000 tahun. Kebanyakan arkeolog yang bekerja di situs percaya bahwa tsunami pernah melanda daerah ini kira-kira antara periode Tamil Sangam dan Pallava, menghancurkan kuil tua.
ASI secara tidak sengaja juga menemukan struktur yang jauh lebih tua di situs. Sebuah struktur bata kecil, yang sebelumnya tertutup oleh pasir, muncul di pantai setelah tsunami. Para arkeolog meneliti struktur itu, dan diketahui struktur itu berasal dari periode Tamil Sangam. Meskipun struktur ini tidak cocok dengan legenda tradisional, namun ini menambahkan intrik dan kemungkinan sejarah yang belum tereksplorasi di situs.
Pendapat di kalangan arkeolog saat ini adalah bahwa tsunami lain pernah menghancurkan kuil Pallava di abad ke-13. Ilmuwan ASI, G. Thirumoorthy mengatakan kepada BBC bahwa bukti fisik dari tsunami abad ke-13 dapat ditemukan di hampir sepanjang East Coast India.
Subrahmanya temple, salah satu candi yang terungkap oleh sunami 2004. Dipercaya sebagai salah satu dari 7 Pagoda |